Karena itu, saya bangga pernah beberapa kali merasakan betapa hikmatnya upacara hari kemerdekaan di sejumlah pulau terluar. Saya pernah mengikuti upacara 17 Agustus di Pulau Marore di Sulawesi Utara, Pulau Kisar di Maluku, Pulau Morotai di Maluku Utara, Pulau Lingayan di Sulawesi Tengah, dan Pulau Weh di Aceh. Semuanya adalah pulau yang menjadi batas Indonesia dengan negara tetangga.
Beberapa pulau berada jauh dari ibu kota provinsi ataupun ibu kota kabupaten. Sarana dan prasarana juga serba terbatas. Tapi, jangan tanya soal nasionalisme mereka. Setiap penduduk yang saya temui, selalu menjawab dengan tegas, kalau mereka adalah orang Indonesia. Hal ini dibuktikan antara lain dengan secara sukarela ikut upacara di lapangan rumput di pinggir pulau, walau tidak ada kewajiban.
Walau mereka bangga sebagai orang Indonesia, namun di tengah pembicaraan selalu terselip ucapan agar perhatian pemerintah semakin besar bagi mereka. Mungkin saja, ini bukan ucapan, tapi sebuah doa yang terucap ketika sedang berbicara dengan saya. Sebuah doa yang sangat penuh pengharapan.
Mereka adalah penduduk negeri ini yang menempati pulau-pulau terpencil dan jauh. Mereka tinggal di pulau yang langsung berhadapan dengan Samudra Hindia atau Samudra Pasifik. Ada juga pulau yang lebih dekat dengan negara tetangga dari daripada daratan Indonesia. Tapi, perhatian pemerintah sepertinya hanya cuma-cuma. Mereka memang bisa hidup mandiri selama ini, tapi kehadiran negara dan bangsa juga mereka harapkan. Tidak hanya berupa seremonial dan jargon-jargon berbau nasionalisme, tapi juga perhatian berupa sentuhan pembangunan.
Dirgahayu Republik Indonesia ke-70!
Pulau Kisar, Maluku |
Pulau Lingayan, Sulawesi Tengah |
![]() |
Pulau Marore, Sulawesi Utara |
![]() |
Pulau Morotai, Maluku Utara |
![]() |
Pulau Weh, Aceh |